Jakarta – Nilai tukar rupiah kembali tertekan pada penutupan perdagangan Kamis (13/11/2025). Mata uang Indonesia tersebut melemah sekitar 11 poin atau 0,07%, sehingga berada di posisi Rp16.728 per dolar AS.
Menurut pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, pelemahan ini tidak lepas dari faktor eksternal, khususnya perkembangan politik dan kebijakan fiskal di Amerika Serikat. Salah satu faktor utama yang memengaruhi pasar adalah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) pendanaan pemerintah AS oleh DPR, yang bertujuan mengakhiri penutupan pemerintahan terpanjang dalam sejarah negara itu.
“RUU ini disetujui dengan hasil voting 222 banding 209, di mana 216 anggota Partai Republik dan enam anggota Partai Demokrat memberikan dukungan. Kini, Presiden Donald Trump tinggal menandatangani RUU tersebut agar resmi menjadi undang-undang,” tulis Ibrahim dalam riset hariannya.
Langkah tersebut dinilai mampu mengurangi ketidakpastian ekonomi di AS, khususnya dalam sektor energi dan transportasi yang sempat terdampak akibat penutupan pemerintahan. Dengan berakhirnya shutdown, pemerintah AS dapat kembali merilis data ekonomi resmi, yang akan menjadi acuan baru bagi pasar global mengenai kondisi konsumen energi terbesar di dunia itu.
Sementara itu, kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) masih menjadi perhatian. Para pejabat bank sentral AS tampak belum sepakat soal rencana penurunan suku bunga, di tengah kekhawatiran bahwa inflasi belum benar-benar terkendali.
Gubernur The Fed Stephen Miran menilai kebijakan moneter saat ini masih terlalu ketat, terutama karena tekanan inflasi dari sektor perumahan mulai berkurang. Namun, Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic menegaskan pihaknya lebih memilih menahan suku bunga di level saat ini sampai ada tanda nyata bahwa inflasi benar-benar mendekati target 2%.
Dari sisi geopolitik, ketegangan di Eropa juga menjadi perhatian pasar. Kremlin menuduh negara-negara anggota NATO tengah memperkuat persenjataan dan mempersiapkan kemungkinan konfrontasi langsung dengan Rusia. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa Moskow pun siap menghadapi potensi konflik semacam itu. Ia bahkan sependapat dengan Presiden Serbia Aleksandar Vucic, yang memperingatkan bahwa militerisasi Eropa membuat risiko perang langsung Rusia–NATO semakin besar.
Di sisi domestik, sentimen dari kebijakan fiskal turut memengaruhi pergerakan rupiah. Pemerintah menetapkan target defisit APBN 2026 sebesar 2,68% dari PDB atau sekitar Rp689,1 triliun. Angka ini naik dibandingkan proyeksi awal dalam RAPBN 2026 yang hanya Rp638,8 triliun atau 2,48% PDB.
Meski demikian, angka defisit tersebut lebih tinggi dari batas aman yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yakni 2,45%–2,53% dari PDB. Bahkan proyeksi defisit 2025 yang mencapai 2,78% juga melampaui ambang batas tersebut, sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 70 Tahun 2025.
Dalam dokumen yang sama, pemerintah juga menetapkan kisaran defisit aman untuk tahun-tahun berikutnya: 2,35%–2,50% PDB pada 2027, 2,32%–2,50% pada 2028, dan 2,24%–2,50% pada 2029. Angka-angka ini digunakan untuk menjaga keseimbangan fiskal dan memperkuat fondasi ekonomi nasional.
Menurut Ibrahim, kombinasi dari tekanan global, ketidakpastian kebijakan The Fed, serta target fiskal pemerintah yang masih tinggi membuat rupiah berpotensi bergerak fluktuatif dalam waktu dekat. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan berada di rentang Rp16.730 hingga Rp16.770 per dolar AS pada perdagangan selanjutnya.(BY)












