Padang  

Regulasi Baru Haji Tekankan Transparansi, Efisiensi, dan Pemerataan Hak Jemaah

Ilustrasi para jemaah haji tiba di Bandara International Minangkabau (BIM).
Ilustrasi para jemaah haji tiba di Bandara International Minangkabau (BIM).

Padang – Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kanwil Kemenag Sumatera Barat, M. Rifki, menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah menekankan pada efisiensi, transparansi, dan pemerataan hak jemaah melalui sejumlah inovasi serta penguatan regulasi.

Salah satu perubahan signifikan adalah perpanjangan masa tunggu pendaftaran haji ulang dari 10 tahun menjadi 18 tahun. Kebijakan ini bertujuan memberi kesempatan lebih luas bagi calon jemaah yang belum pernah menunaikan ibadah haji.

“Dahulu, pendaftaran haji ulang bisa dilakukan 10 tahun setelah kepulangan. Kini, jemaah yang berhaji pada 2015 baru bisa mendaftar kembali sekitar 2033,” jelas Rifki, dikutip dari laman Kemenag Sumbar, Sabtu (8/11/2025).

Perubahan lain terlihat pada aturan pelimpahan porsi haji. Jika sebelumnya hak pelimpahan hanya bisa diberikan kepada suami, istri, atau anak kandung, kini dapat diperluas kepada saudara seayah atau seibu.

“Langkah ini menambah fleksibilitas dan keadilan bagi keluarga calon jemaah. Saudara kandung yang sebelumnya tidak bisa menerima pelimpahan kini sudah diatur secara jelas,” tambah Rifki.

Rifki juga menyoroti perbaikan tata kelola denda pelanggaran manasik (DAM). Saat ini, pengelolaan DAM dilakukan melalui lembaga resmi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau bank syariah, sehingga lebih transparan dan akuntabel.

“Dahulu, DAM dikelola secara mandiri melalui mukimin atau bank di Arab Saudi. Sekarang, pengelolaan dilakukan di dalam negeri oleh lembaga resmi, bahkan melibatkan lembaga filantropi Islam seperti Baznas,” jelasnya.

Ia menekankan, bila sistem ini berjalan optimal, potensi ekonomi yang muncul cukup besar. “Bayangkan, jika 221 ribu jemaah haji masing-masing menyembelih satu kambing, maka ada 221 ribu ekor yang bisa dikelola lebih efisien,” ujar Rifki.

UU baru ini juga memperjelas mekanisme pengawasan kuota tambahan haji. Sebelumnya, kewenangan sepenuhnya berada di Menteri Agama, kini setiap tambahan kuota harus dibahas bersama Komisi VIII DPR RI.

“Ini untuk menjamin transparansi dan pengawasan publik. DPR akan selalu dilibatkan agar penentuan kuota tambahan bebas dari penyimpangan,” kata Rifki.

Menurut Rifki, UU Nomor 14 Tahun 2025 memiliki dua visi besar, yaitu membangun ekosistem ekonomi haji dan memperkuat nilai peradaban umat.

“Haji kini tidak hanya dipandang sebagai ibadah, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi nasional. Misalnya, produk makanan jemaah di Arab Saudi bisa berasal dari Indonesia, dan asrama haji dimanfaatkan secara optimal,” jelasnya.

Dengan berbagai perubahan ini, pemerintah berharap penyelenggaraan haji ke depan lebih tertib, transparan, dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat.

“UU ini bukan sekadar mengatur teknis ibadah, tetapi memberi arah baru—bagaimana haji menjadi bagian dari peradaban dan ekonomi umat,” tutup Rifki.

Pembaruan regulasi ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi penyelenggaraan haji Indonesia yang lebih tertib, adil, dan berdaya guna bagi umat.(des*)