Jakarta – Belakangan ini protein menjadi bahan perbincangan panas di berbagai platform media sosial. Banyak figur publik di bidang gizi dan olahraga menyoroti manfaatnya, dari pembentukan massa otot hingga dukungan terhadap fungsi otak dan kesehatan mental.
Meski demikian, sebagian narasi yang beredar kerap menimbulkan kesan bahwa kebutuhan protein harian jauh lebih tinggi daripada rekomendasi ilmiah sebenarnya.
Neuropsikolog Sanam Hafeez dari Comprehend the Mind menilai tren yang menghubungkan konsumsi protein dengan kesehatan otak memang ada dasarnya, namun sering kali dibahas tanpa konteks yang tepat.
“Pola makan seimbang dengan asupan protein memadai dapat membantu performa kognitif dan kestabilan emosi,” ujarnya seperti dikutip dari Very Well Mind.
“Ironisnya, fokus berlebihan pada protein yang marak di media sosial justru bisa menimbulkan salah kaprah, karena lebih banyak belum tentu lebih baik.”
Ia mengingatkan bahwa konsumsi protein yang melampaui kebutuhan dapat meningkatkan beban kerja hati dan ginjal. Selain itu, obsesi terhadap protein berisiko membuat orang mengabaikan nutrisi penting lain seperti lemak sehat, vitamin, dan mineral.
Peran protein bagi fungsi otak dan kesehatan mental
Protein merupakan elemen kunci bagi kerja otak. Organ ini bergantung pada neurotransmitter—zat kimia pengirim sinyal antar sel saraf—yang sebagian besar tersusun dari asam amino, yaitu komponen dasar protein.
Psikiater Bryan Bruno dari Mid City TMS menegaskan hal serupa. Menurutnya, asupan protein yang cukup dapat membantu mengelola gejala depresi karena beberapa asam amino, termasuk triptofan, berperan dalam pembentukan serotonin.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi triptofan yang memadai berkaitan dengan menurunnya kecemasan, depresi, dan iritabilitas. Bruno menambahkan bahwa produksi serotonin sangat dipengaruhi oleh ketersediaan triptofan.
“Nutrisi yang baik dapat menunjang keberhasilan terapi pada pasien dengan gangguan suasana hati,” terangnya.
Kaitan antara kesehatan saluran cerna dan otak juga menempatkan protein pada posisi penting. Setelah dicerna, protein terurai menjadi berbagai asam amino yang turut mendukung pertumbuhan bakteri baik di usus.
Bakteri menguntungkan tersebut tidak hanya membantu pencernaan, tetapi juga berpengaruh besar pada kondisi emosi. Asupan protein yang sesuai membantu menjaga keseimbangan mikrobiota, mengurangi peradangan, dan mendukung mood yang stabil.
Bruno menambahkan bahwa sekitar 90 persen serotonin tubuh diproduksi di usus, sehingga pola makan tinggi protein berkualitas dapat langsung berkaitan dengan kualitas kesehatan mental.
Berapa banyak protein yang diperlukan?
Secara umum, kebutuhan protein harian berada di kisaran 0,8 gram per kilogram berat badan, atau sekitar 10–35 persen dari total kalori harian.
Angelique Szymanski mengingatkan bahwa angka tersebut dapat berubah bergantung pada usia, tingkat aktivitas, serta kondisi kesehatan tertentu.
Hafeez menambahkan, kelebihan protein dapat meningkatkan risiko dehidrasi karena tubuh harus membuang nitrogen hasil metabolisme protein. Di sisi lain, kekurangan protein dapat menyebabkan berkurangnya massa otot, daya tahan tubuh melemah, dan mudah lelah.
Kualitas sumber protein juga menjadi aspek penting. Head of Consumer Food Division Japfa Food Indonesia, Wira Adhitama, menegaskan pentingnya akses masyarakat terhadap sumber protein hewani yang aman, bergizi, dan terjangkau.
“Pemilihan sumber protein hewani yang tepat menjadi fondasi gaya hidup sehat dan berprestasi,” ujarnya dalam acara The Champion’s Choice: Where Protein Meets Performance.
Dengan memahami fungsi protein secara menyeluruh—baik bagi tubuh, otak, suasana hati, maupun performa aktivitas sehari-hari—masyarakat dapat memanfaatkannya secara optimal tanpa terjebak tren yang menyesatkan. Prinsip utamanya tetap sama: cukup, seimbang, dan fokus pada kualitas.(BY)












