Jakarta – Fenomena “Stop TOT…TOT…WUK…WUK…” ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Gerakan ini menolak memberikan jalan bagi pejabat yang dikawal, sebagai bentuk protes masyarakat terhadap pengawalan yang dianggap berlebihan.
Gerakan tersebut muncul karena masyarakat menilai beberapa pejabat memanfaatkan pengawalan untuk membelah kemacetan, yang menimbulkan kesan istimewa di jalan.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menekankan bahwa pejabat publik harus bertindak wajar dan tidak menyalahgunakan fasilitas pengawalan. Menurutnya, penggunaan sirene dan lampu strobo harus tetap memperhatikan ketertiban umum dan kepentingan pengguna jalan lainnya.
“Penggunaan fasilitas ini tidak boleh melampaui batas-batas wajar. Kita harus tetap menghormati pengguna jalan lain,” ujar Prasetyo Hadi, dikutip dari laman Korlantas Polri.
Prasetyo menambahkan, fasilitas pengawalan hanya diperuntukkan bagi kondisi tertentu. Bahkan Presiden Prabowo Subianto pun sering ikut antre di tengah kemacetan dan tetap mematuhi lampu lalu lintas jika tidak sedang dalam kondisi mendesak.
“Bukan berarti fasilitas ini bisa digunakan sesuka hati. Semangatnya adalah menjaga ketertiban sambil tetap mengutamakan urgensi,” jelasnya.
Penggunaan kendaraan prioritas di jalan diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 134. Kendaraan yang mendapat prioritas antara lain:
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang bertugas;
Ambulans membawa pasien;
Kendaraan untuk pertolongan kecelakaan;
Kendaraan pimpinan lembaga negara;
Kendaraan pejabat negara asing atau tamu internasional;
Iring-iringan pengantar jenazah;
Konvoi atau kendaraan dengan kepentingan tertentu sesuai pertimbangan polisi.
Selain itu, Istana Negara menegaskan mobil pemadam kebakaran dan ambulans tetap lebih prioritas dibandingkan rangkaian mobil presiden di jalan raya, karena urgensi keselamatan menjadi utama.(des*)