Berita untuk Anda
RedaksiArsip

Konflik Berkepanjangan, Warga Sipil Jadi Korban Serangan di Perbatasan

Konflik Thailand dan Kamboja semakin memanas, salah satunya terkait penggunaan bom klaster
Konflik Thailand dan Kamboja semakin memanas, salah satunya terkait penggunaan bom klaster

Jakarta – Ketegangan antara Thailand dan Kamboja terus meningkat. Memasuki hari ketiga pertempuran, Sabtu (26/7/2025), belum terlihat tanda-tanda penurunan eskalasi konflik. Pada Sabtu dini hari, militer Thailand kembali melancarkan serangan ke wilayah Provinsi Pursat, Kamboja, yang mengakibatkan sedikitnya 13 korban jiwa, termasuk delapan warga sipil.

Kedua negara saling menuding telah melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, dengan menargetkan warga sipil dalam serangan masing-masing. Namun, baik Thailand maupun Kamboja membantah tuduhan tersebut.

Yang mengejutkan, pemerintah Kamboja menuduh Thailand menggunakan bom klaster—jenis senjata yang telah dilarang penggunaannya oleh lebih dari seratus negara karena efek jangka panjang yang merugikan warga sipil.

Apa Itu Bom Klaster?

Bom klaster adalah senjata yang membawa puluhan hingga ratusan submunisi (bom kecil) dalam satu tabung. Senjata ini dapat dijatuhkan dari pesawat, ditembakkan dari artileri, atau diluncurkan melalui roket. Di udara, bom utama akan pecah pada ketinggian tertentu dan menyebarkan submunisi ke area target.

Submunisi tersebut dirancang untuk meledak di dekat permukaan tanah dan menyebarkan pecahan logam tajam yang dapat menghancurkan kendaraan lapis baja atau membunuh pasukan dalam radius yang luas.

Masalah utamanya, tidak semua submunisi langsung meledak saat dijatuhkan. Sebagian bisa tetap aktif dan tersembunyi di tanah selama bertahun-tahun, menjadi ancaman serius bagi penduduk sipil, termasuk anak-anak.

Mengapa Bom Klaster Dilarang?

Lebih dari 100 negara telah melarang penggunaan bom klaster melalui Konvensi Munisi Tandan (Convention on Cluster Munitions/CCM). Pelarangan ini mencakup aktivitas produksi, penyimpanan, hingga distribusi senjata tersebut.

Larangan ini didasarkan pada dampak destruktifnya yang luas dan tidak terkendali, serta potensi korban sipil yang tinggi bahkan setelah konflik usai. Organisasi-organisasi hak asasi manusia menyebut bom klaster sebagai senjata yang “tidak berperikemanusiaan” dan menyamakan penggunaannya dengan tindakan kejahatan perang.

Meski demikian, sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Ukraina, dan Thailand belum menandatangani CCM, sehingga secara hukum internasional mereka belum terikat untuk menghentikan penggunaan bom jenis ini.(des*)