Jakarta , Fativa.id,— Dalam momentum Hari HAM Sedunia, Ibu Sumarsih—ibu dari korban tragedi Semanggi I, Bernadius Realino Norma Irmawan alias Wawan, dengan tegas menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto. Baginya, keputusan tersebut tidak sejalan dengan catatan sejarah dan temuan resmi lembaga negara mengenai pelanggaran HAM di masa Orde Baru.
“Tidak layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Kalau ditimbang-timbang, kejahatan dan kebaikannya lebih berat kejahatannya,” ujar Sumarsih, merujuk pada hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam sejumlah peristiwa di era tersebut, dalam Aksi Kamisan, di Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Sumarsih menilai gelar itu bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan penanda moral yang berpengaruh terhadap memori kolektif publik. Menurutnya, pemberian gelar tanpa mempertimbangkan fakta sejarah yang lengkap berpotensi mengaburkan kebenaran dan mereduksi perjuangan keluarga korban yang telah menuntut keadilan selama puluhan tahun.
“Pemberian gelar ini adalah bentuk manipulasi terhadap memori kolektif bangsa,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa langkah tersebut berpotensi menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk memoles sejarah melalui penulisan narasi resmi yang menghilangkan konteks pelanggaran HAM.
Meski kritiknya jelas, Sumarsih tidak menyampaikannya dalam nada permusuhan. Ia menekankan bahwa penolakan ini lahir dari komitmen menjaga integritas sejarah dan memastikan generasi mendatang memahami masa lalu secara jujur.
Menurutnya, penulisan ulang sejarah yang menghilangkan istilah “pelanggaran HAM berat”—padahal pemerintah sendiri telah mengakuinya secara resmi—menjadi tanda bahwa bangsa ini tengah menghadapi tantangan serius dalam merawat ingatan publik. “Sejarah harus ditulis berdasarkan fakta, bukan diputar balik,” tegasnya.
Sumarsih juga kembali menegaskan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus dilakukan secara yudisial agar tidak terjadi keberulangan. Baginya, penghormatan kepada masa lalu hanya bermakna jika negara berani menuntaskan kewajibannya terhadap korban.
“Yang kami perjuangkan ini demi masa depan negara—agar generasi muda tidak lagi mengalami apa yang dialami anak-anak kami,” katanya.
Dalam Aksi Kamisan hari ini, sikap tegas Sumarsih menjadi pengingat bahwa penghargaan negara tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab moral dan historis. Baginya, kejujuran sejarah adalah syarat untuk membangun masa depan yang lebih adil.
