Berita untuk Anda
RedaksiArsip

LPHN Unggan Buktikan Perhutanan Sosial Mampu Selamatkan Lingkungan

Proses pengolahan kopi di Nagari Unggan.
Proses pengolahan kopi di Nagari Unggan.

Sijunjung – Terletak di kawasan perbukitan Sumpur Kudus yang rimbun dan berhawa sejuk, Nagari Unggan berada di hulu Batang Sumpu, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Wilayah ini menjadi bagian penting dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri yang hulunya bersumber di Sumbar dan mengalir hingga Provinsi Riau.

Posisinya yang berada di pertemuan beberapa hulu sungai menjadikan Unggan sebagai simpul hidrologis penting. Peran ekologis nagari ini vital—mengatur aliran air, mencegah erosi, hingga menjaga kualitas air yang mengalir ke daerah hilir.

Dulu, Nagari Unggan dikelilingi hutan tropis lebat yang menyimpan kekayaan flora dan fauna. Hutan ini berfungsi sebagai penyangga iklim, penyerap karbon, dan pelindung dari ancaman banjir bandang maupun longsor. Namun, aktivitas penebangan liar yang berlangsung lama telah menggerus luas hutan dan melemahkan daya dukung lingkungan. Dampaknya terasa nyata ketika banjir besar melanda pada 2008 dan 2012, menjadi titik balik kesadaran masyarakat bahwa kelestarian hutan adalah kunci keselamatan mereka.

LPHN Unggan dan Perhutanan Sosial

Kesadaran itu membawa masyarakat bergerak. Sejak 2015, mereka didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Melalui pemetaan partisipatif, sejarah pengelolaan ulayat digali kembali, lalu disusun aturan berbasis adat untuk menjaga hutan nagari.

Upaya tersebut berbuah hasil pada 2018, ketika Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Unggan memperoleh izin Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin ini memberi kewenangan legal bagi masyarakat untuk mengelola hutan mereka secara mandiri.

Pendampingan terus berlanjut. Pada 2022, WARSI memperkuat kelembagaan LPHN lewat program hibah, tidak hanya berupa dana, tetapi juga dukungan teknis dan pelatihan. Fokus utamanya adalah memastikan pengelolaan hutan berjalan efektif, inklusif, dan memberi manfaat nyata bagi warga.

Beralih Profesi: Dari Penebang Kayu ke Petani Kopi

Pasca bencana longsor, LPHN Unggan menata ulang kawasan dengan sistem zonasi: ada wilayah lindung dan ada zona pemanfaatan. Melalui pendekatan ini, masyarakat yang semula bekerja sebagai buruh angkut kayu didorong beralih menjadi petani kopi.

“Dengan hibah ini, kami bisa mendorong perubahan mata pencaharian. Lebih dari 15 ribu bibit kopi telah kami salurkan kepada 80 warga,” kata Delpa Wardi, Ketua LPHN Unggan.

Transisi ini tentu tidak instan. Sosialisasi terus dilakukan, mulai dari edukasi bahaya banjir dan longsor, hingga pelatihan budidaya kopi sesuai standar pasar. Sistem agroforestri diterapkan: kopi ditanam berdampingan dengan pepohonan hutan, sehingga ekosistem tetap terjaga.

Hasilnya mulai terlihat. Aktivitas perambahan hutan menurun drastis. Buruh kayu beralih mengurus ladang kopi, dan kondisi lingkungan hulu pun membaik berkat reboisasi serta pengamanan hutan. Bencana besar kini jarang terjadi, sementara pendapatan warga berangsur stabil.

Peran Nagari untuk Sumatera Barat Hijau

Nagari Unggan hanyalah satu dari 269 nagari di Sumatera Barat yang mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial. Gubernur Sumbar menegaskan, daerahnya menjadi pelopor nasional dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

“Sumbar serius mendorong masyarakat sekitar hutan agar sejahtera tanpa merusaknya. Target kita, seluruh kabupaten menjadi bagian dari provinsi hijau,” ujarnya.

Atas komitmen itu, Sumbar menerima dana Result-Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF) melalui BPDLH sebagai penghargaan atas kontribusi nyata dalam menekan emisi karbon.

Direktur BPDLH, Joko Tri Haryanto menegaskan, “Penurunan emisi tidak bisa hanya mengandalkan APBN dan APBD. RBP adalah bentuk pengakuan global. Negara maju harus membayar lebih atas emisi mereka, dan wilayah seperti Sumbar adalah garda depan perlindungan iklim dunia.”

Dari Tapak untuk Dunia

Kisah Nagari Unggan membuktikan bahwa keadilan iklim dimulai dari tapak, dari masyarakat yang hidup paling dekat dengan hutan. Transformasi dari penebang kayu menjadi petani kopi adalah simbol pergeseran paradigma: menjaga hutan tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi juga membawa keuntungan.

Dengan kolaborasi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, media, dan masyarakat sendiri, Sumbar melangkah mantap menuju “Green Province”. Dari Nagari Unggan, dunia belajar bahwa perubahan besar lahir dari komunitas kecil yang bekerja dengan tekad dan harapan.(des*)