Jakarta – Sebuah investigasi kolaboratif yang melibatkan The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call mengungkap dugaan bahwa Unit 8200, divisi intelijen siber elit militer Israel, telah menyimpan rekaman panggilan telepon warga Palestina dalam jumlah besar di server cloud milik Microsoft. Operasi pengumpulan data ini dilaporkan mulai berjalan sejak 2022.
Berdasarkan dokumen internal Microsoft yang bocor serta keterangan dari 11 narasumber—termasuk orang dalam militer Israel dan pegawai perusahaan tersebut—rekaman jutaan panggilan harian dari warga Gaza dan Tepi Barat ditampung di pusat data Azure yang berlokasi di Belanda dan Irlandia. Beberapa sumber dari Unit 8200 menyebut, sistem ini tidak hanya digunakan untuk memantau, tetapi juga menjadi panduan dalam serangan udara serta operasi militer di wilayah Palestina yang diduduki.
Microsoft menegaskan bahwa CEO Satya Nadella, yang pernah bertemu dengan komandan Unit 8200 Yossi Sariel pada 2021, tidak mengetahui detail mengenai jenis data yang akan diunggah ke platform mereka. Hasil peninjauan internal perusahaan disebut tidak menemukan bukti bahwa layanan Azure atau teknologi kecerdasan buatannya dipakai untuk melukai atau menargetkan individu.
Pengungkapan ini muncul di tengah laporan Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina, Francesca Albanese, yang memetakan keterlibatan sejumlah perusahaan internasional dalam mendukung pendudukan dan operasi militer Israel. Dalam laporan itu, Microsoft disebut memiliki hubungan jangka panjang dengan Israel sejak 1991, membangun pusat terbesar di luar AS di negara tersebut, dan memasok teknologi untuk berbagai sektor, termasuk militer, kepolisian, penjara, sekolah, hingga permukiman.
Catatan yang diperoleh The Guardian menyebut, Nadella sempat memberikan dukungan atas rencana Sariel memindahkan data intelijen dalam jumlah besar ke cloud. Meski Microsoft menyatakan informasi tersebut “tidak akurat”, dokumen internal mengindikasikan adanya kerja sama teknis, termasuk penambahan fitur keamanan di Azure untuk memungkinkan transfer sekitar 70% data sensitif Unit 8200 ke platform itu.
Pejabat Israel berargumen bahwa teknologi ini membantu mencegah serangan, namun sejumlah mantan anggota Unit 8200 menilai metode yang digunakan bersifat penyadapan massal tanpa pembatasan. Data yang dikumpulkan disebut kerap dipakai sebagai dasar penangkapan atau tekanan terhadap warga Palestina. Bahkan, ada dugaan informasi tersebut dijadikan pembenaran untuk penahanan dan pembunuhan.
Ekspansi sistem ini beriringan dengan pergeseran strategi pengawasan Israel, dari pemantauan terbatas menjadi mass surveillance. Sebuah sistem berbasis AI dilaporkan memberi “skor risiko” pada pesan teks, memicu alarm ketika mendeteksi kata-kata tertentu seperti “senjata” atau “kemartiran”. Sariel sendiri mundur pada 2024, setahun setelah peristiwa 7 Oktober 2023 yang disebut sebagai kegagalan intelijen besar Israel.
Di tengah konflik yang terus berlangsung di Gaza, di mana lebih dari 61.250 warga Palestina—termasuk 18.000 anak—dilaporkan tewas, program pengawasan ini dikabarkan masih beroperasi. Sumber investigasi menyebut, kombinasi data lama dan AI tetap menjadi bagian dari operasi militer hingga saat ini. Microsoft, sementara itu, mengklaim tidak memiliki informasi rinci mengenai isi data yang dipegang Unit 8200.(BY)
