Jakarta – Toyota dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk mengambil alih Neta Auto, perusahaan kendaraan listrik asal Tiongkok yang tengah menghadapi krisis keuangan. Langkah ini dinilai sebagai strategi Toyota untuk memperkuat dominasi di pasar kendaraan listrik China, sekaligus mempercepat perkembangan teknologi EV mereka di masa mendatang.
- Rencana Akuisisi Neta oleh Toyota
Dilansir dari Carnewschina, Selasa (13/5/2025), Neta Auto yang berada di bawah naungan Hozon New Energy Auto sejak pendiriannya pada 2014, mengalami tekanan keuangan serius sejak tahun 2024. Imbasnya, perusahaan menghentikan produksi serta melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar. Dalam upaya bertahan, Neta kini tengah mencari suntikan dana dari investor baru untuk menyelamatkan bisnisnya.
Pada 10 Februari 2025, Neta sempat mengumumkan rencana pendanaan putaran E-roud senilai USD 552-621 juta. Pendanaan ini bergantung pada kesepakatan dengan investor utama yang didukung dana BRICS, yang menjanjikan sekitar 3 miliar yuan (sekitar USD 414 juta). Namun, persyaratan produksi kembali dan jaminan investasi tidak terpenuhi, sehingga kesepakatan tersebut gagal terealisasi.
Neta sempat membuka kembali fasilitas produksinya di Tongxiang pada Januari 2025, tetapi operasional tidak berjalan akibat kelangkaan komponen. Situasi ini membuat para investor menarik diri dan membatalkan komitmen pendanaan.
- Masalah Keuangan yang Memburuk
Pada awal 2025, sempat diajukan proposal akuisisi sebesar 50 persen saham hanya seharga 3 miliar yuan, yang berarti valuasi perusahaan turun drastis menjadi 6 miliar yuan atau sekitar USD 828 juta—turun 80 persen dari sebelumnya. Keputusan ini memicu kemarahan sejumlah pemegang saham awal dan investor yang mendapat dukungan negara, termasuk 360 Security Technology. Pendiri perusahaan tersebut, Zhou Hongyi, bahkan menarik komitmen dana lanjutan senilai USD 138 juta.
Sejak saat itu, kepercayaan para investor terhadap manajemen Neta kian memburuk. Dalam tiga tahun terakhir, Neta telah mencatatkan kerugian total sebesar 18,3 miliar yuan (sekitar USD 2,53 miliar), dan masih memiliki utang kepada para pemasok sebesar 6 miliar yuan (sekitar USD 828 juta).
Untuk mengatasi tekanan tersebut, Neta mengusulkan konversi 70 persen dari total utang kepada pemasok menjadi saham, sedangkan sisanya akan dibayar secara bertahap. Namun, perusahaan memperingatkan bahwa tanpa dana segar, mereka bisa gagal membayar gaji dan iuran jaminan sosial. Dalam skenario kebangkrutan, investor dari sektor pemerintah akan menjadi prioritas utama dalam pelunasan utang, sehingga para pemasok berada dalam posisi yang rentan.
Meski di tengah kekacauan finansial, Neta masih memiliki nilai dalam aspek teknologi dan jaringan pasar. Pada 26 Maret 2025, Neta berhasil mencapai kesepakatan konversi utang-ke-saham sebesar 2 miliar yuan (sekitar USD 276 juta) dengan 134 mitra pemasok utama, serta menerima dukungan pendanaan dari institusi di Thailand dan perusahaan Solotech asal Hong Kong.
Jika rencana akuisisi ini benar terjadi, Toyota bisa memanfaatkan teknologi dan pengalaman lokal Neta untuk mempercepat ekspansi kendaraan listrik di pasar China.
“Kami belum mendengar apa-apa terkait hal itu,” tegasnya.(BY)