Perang Dagang Memanas, Ekonomi Indonesia Ikut Terdampak Kebijakan Tarif AS

Tarif Impor AS Berdampak Besar Bagi Dunia.
Tarif Impor AS Berdampak Besar Bagi Dunia.

Jakarta – Kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, khususnya pada industri otomotif dan elektronik. Besarnya tarif yang dikenakan terhadap produk asal Indonesia mencapai 32%, memicu kekhawatiran di berbagai sektor.

Dampak Kebijakan Tarif AS
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kebijakan ini bisa menghambat ekspor Indonesia dan berisiko menyebabkan perlambatan ekonomi di AS, yang pada akhirnya turut mempengaruhi Indonesia.

Ia juga menanggapi keberatan AS terhadap aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) serta hambatan impor Indonesia. Menurutnya, keberatan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.

“Jika dibandingkan dengan negara mitra dagang lainnya, Indonesia memiliki hambatan non-tarif yang relatif lebih rendah,” jelas Bhima pada Kamis (3/4/2025).

Menurutnya, keluhan AS mengenai hambatan non-tarif tidak relevan. “Jika tarif masih bisa diperdebatkan, namun jika berbicara soal hambatan non-tarif, itu tidak sebanding,” tambahnya.

Risiko Resesi di AS
Bhima menjelaskan bahwa kebijakan tarif yang tinggi bisa berdampak buruk bagi perekonomian AS sendiri. Kenaikan tarif akan berimbas pada harga kendaraan yang lebih mahal bagi konsumen AS, sehingga menurunkan daya beli masyarakat.

Selain itu, potensi resesi juga meningkat akibat melemahnya permintaan. Berdasarkan data historis, setiap penurunan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1%, maka ekonomi Indonesia ikut melambat sekitar 0,08%.

Ancaman PHK di Sektor Otomotif
Industri otomotif dalam negeri juga terancam, karena tidak mudah mengalihkan produksi ke pasar domestik akibat spesifikasi produk yang berbeda dengan pasar ekspor. Hal ini dapat berujung pada pengurangan kapasitas produksi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor otomotif.

Tak hanya industri otomotif, sektor elektronik juga ikut terdampak, mengingat komponen elektronik menjadi salah satu ekspor terbesar Indonesia ke AS.

Tekanan bagi Industri Tekstil dan Sepatu
Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki juga diperkirakan akan mengalami tekanan berat. Pasar utama produk ini adalah AS, dengan pangsa ekspor pakaian jadi mencapai 61,4% dan alas kaki 33,8% pada tahun 2024.

Dengan tarif yang lebih tinggi, pesanan dari merek global berpotensi menurun. Di sisi lain, produk dari Vietnam, Kamboja, dan China akan semakin membanjiri pasar domestik karena mencari alternatif ekspor.

Bhima menekankan pentingnya revisi regulasi perdagangan, seperti Peraturan Menteri Perdagangan 8/2024, agar ekspor lebih lancar dan industri dalam negeri tetap kompetitif.

“Pemerintah harus bergerak cepat menarik peluang relokasi pabrik, bukan hanya mengandalkan perbedaan tarif dengan negara lain,” ungkapnya.

Regulasi yang stabil, perizinan yang efisien, serta kesiapan infrastruktur dan energi menjadi faktor penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Di sisi lain, Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk mengelola kebijakan moneter. Dengan cadangan devisa yang masih kuat, ada peluang untuk menurunkan suku bunga acuan guna mendorong sektor riil di tengah tekanan global.

“Saat ini, BI bisa menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin untuk merangsang sektor riil yang terdampak perang dagang,” pungkas Bhima.(BY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *