Jakarta – Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa pagi (11/2/2025). Penguatan dolar AS terjadi setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana penerapan tarif baru untuk semua impor baja dan aluminium.
Berdasarkan data Refinitiv pada Selasa (11/2/2025), rupiah dibuka melemah 0,06% ke level Rp16.350 per dolar AS. Pelemahan ini melanjutkan tren dari perdagangan sebelumnya. Pada Senin (10/2/2025), rupiah ditutup turun 0,43% di level Rp16.340 per dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar (DXY) terus menguat dan tercatat naik 0,06% ke level 108,38 pada pukul 09.00 WIB. Penguatan ini dipicu oleh kebijakan tarif impor yang diumumkan Trump, yang berpotensi berdampak luas pada perdagangan global.
Dampak Kebijakan AS terhadap Rupiah dan Mata Uang Asia
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susianto, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah masih berkaitan dengan kebijakan perdagangan AS. Menurutnya, tidak hanya rupiah, tetapi hampir seluruh mata uang Asia mengalami tekanan terhadap dolar AS.
Bahkan mata uang utama dunia, seperti dolar Kanada, yen Jepang, euro, dan pound sterling, juga mengalami pelemahan akibat kekhawatiran terhadap dampak tarif perdagangan baru yang akan diterapkan oleh AS.
Kanada merupakan salah satu eksportir baja dan aluminium terbesar ke AS, bersama dengan Brasil, Meksiko, Korea Selatan, dan Vietnam. Sementara itu, yen Jepang juga tertekan karena adanya kekhawatiran bahwa Negeri Sakura bisa terdampak tarif tersebut.
Marc Chandler, Kepala Strategi Pasar di Bannockburn Global Forex, menilai bahwa ada spekulasi bahwa Jepang sebelumnya mungkin bisa terhindar dari kebijakan ini, namun kini justru berpotensi terkena dampaknya.
Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, sempat menyampaikan optimisme bahwa Jepang dapat menghindari tarif baru, dengan alasan bahwa Trump telah mengakui investasi besar Jepang di AS serta kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja di negara tersebut.
Fokus Pasar pada Kebijakan The Fed dan Data Inflasi AS
Selain kebijakan tarif impor, perhatian pasar juga tertuju pada Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, yang dijadwalkan memberikan kesaksian di hadapan Kongres pada Selasa dan Rabu.
Analis memperkirakan Powell akan tetap menegaskan bahwa ekonomi AS masih berada dalam kondisi stabil dan pertumbuhan berada di atas tren. Oleh karena itu, The Fed diyakini masih memiliki ruang untuk bersabar dalam kebijakan moneternya guna mengendalikan inflasi dalam jangka panjang.
Survei dari The Fed New York yang dirilis Senin lalu menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi jangka pendek di AS cenderung stabil pada Januari 2025.
Di sisi lain, Inggris masih menunggu rincian kebijakan tarif impor baja dan aluminium yang diusulkan oleh Trump. Juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer menyatakan bahwa pemerintah Inggris akan terus berkomunikasi dengan AS terkait kebijakan tersebut.
AS sendiri merupakan pasar ekspor baja terbesar kedua bagi Inggris setelah Uni Eropa.
Pasar kini juga menantikan rilis data inflasi harga konsumen AS untuk Januari, yang dijadwalkan diumumkan pada Rabu mendatang. Data ini akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah kebijakan ekonomi AS ke depan. (des*)