Gaza – Senin (27/1/2025), ratusan ribu warga Gaza yang sebelumnya mengungsi akhirnya dapat kembali ke rumah mereka di wilayah utara. Beberapa pasukan Israel mulai ditarik dari Koridor Netzarim, area yang memisahkan wilayah utara dan selatan Gaza, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas.
Sebelumnya, Hamas telah menyerahkan daftar nama sandera Israel yang akan dibebaskan dalam tahap ketiga pertukaran tahanan pada Jumat (30/1/2025). Salah satu sandera tersebut adalah Arbel Yehud, yang diduga sebagai warga sipil Israel terakhir yang masih ditahan di Gaza.
Dalam pernyataannya, Hamas menyebutkan bahwa kembalinya warga Gaza ini adalah kemenangan besar bagi rakyat Palestina.
Arus kendaraan dan ribuan warga Gaza yang berjalan kaki melintasi Koridor Netzarim menjadi simbol penolakan terhadap upaya relokasi yang direncanakan. Meskipun banyak rumah telah hancur, mereka tetap memilih untuk bertahan di Gaza dan merasa bahwa dapat berkumpul kembali dengan keluarga setelah 15 bulan terpisah akibat perang adalah hal yang tak ternilai.
“Ini menunjukkan kegagalan dan kekalahan penjajah (Israel) atas rencana relokasinya,” demikian bunyi pernyataan Hamas yang dikutip dari Al Jazeera.
Mustafa Barghouti, seorang tokoh politik Palestina sekaligus pemimpin Gerakan Inisiatif Nasional, memuji keberanian warga Gaza yang kembali ke utara sebagai bentuk kegagalan rencana pembersihan etnis yang dilakukan oleh Israel.
“Rakyat kami yang berani telah menggagalkan rencana pembersihan etnis di Jalur Gaza. Kembalinya ratusan ribu orang ke Gaza utara, termasuk Kota Gaza, adalah bukti perlawanan meskipun Israel telah melakukan kerusakan besar dan genosida,” ujar Barghouti dalam pernyataannya.
Ia juga menyatakan bahwa tekanan politik dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tidak akan berhasil memaksakan pemindahan besar-besaran warga Gaza ke luar wilayah tersebut dengan dalih rekonstruksi.
Trump sebelumnya menyerukan relokasi sementara dan jangka panjang warga Gaza ke Yordania dan Mesir untuk memungkinkan penghancuran total wilayah Gaza yang hancur akibat perang.
“Sejak awal serangan ke Gaza, para penjahat perang Israel mengungkapkan bahwa tujuan utama mereka adalah membersihkan Gaza dari penduduknya dan mendeportasi mereka ke Sinai, Mesir,” tambah Barghouti.
Kepulangan warga Gaza yang mengungsi, lanjutnya, membuktikan bahwa rencana Israel gagal dan menunjukkan keberlanjutan tanah air Palestina.
Al Jazeera melaporkan suasana penuh kegembiraan dan haru yang menyertai kembalinya warga Gaza ke utara. Mereka bersukacita bisa bertemu kembali dengan keluarga setelah lebih dari 15 bulan terpisah.
Meskipun rumah-rumah mereka telah rata dengan tanah, mereka tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan Gaza.
Seorang warga, Tamer Almisshal, menggambarkan momen ini sebagai bukti kekuatan dan daya tahan rakyat Palestina selama 15 bulan serangan militer Israel.
“Ini adalah momen bersejarah bagi rakyat Palestina. Untuk pertama kalinya sejak 1948, mereka yang dipaksa meninggalkan rumah mereka berhasil kembali, meskipun ada kehancuran dan genosida,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa seorang warga lainnya berkomitmen mendirikan tenda di atas puing-puing rumahnya yang hancur, karena baginya, tinggal di Gaza jauh lebih baik daripada dipaksa keluar.
Lebih lanjut, Hamas mengumumkan rencana membuka jalur perbatasan Rafah dengan Mesir agar bantuan kemanusiaan dapat masuk, dan warga Palestina yang terluka parah bisa mendapatkan perawatan medis di luar negeri. (des*)