Jakarta – Presiden Prabowo Subianto akhirnya memutuskan untuk menerapkan kenaikan tarif PPN hanya untuk barang mewah yang dikonsumsi oleh kalangan masyarakat mampu, dari 11 persen menjadi 12 persen. Keputusan ini diumumkan setelah rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan pada Selasa sore (31/12).
“Saya tekankan bahwa kenaikan tarif ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang sebelumnya sudah dikenakan PPN, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, yacht, dan rumah mewah,” ujar Presiden Prabowo. “Sementara untuk barang dan jasa lainnya, tarif PPN tetap sama seperti yang berlaku sejak 2022.”
Pemerintah rencananya akan memberlakukan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2024, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, meskipun kebijakan tersebut sudah direncanakan, beberapa elemen masyarakat telah menyuarakan penolakan. Salah satunya, sebuah petisi yang muncul pada Selasa (19/11) di akun X @barengwarga, yang menuntut pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan PPN.
“Jika kenaikan PPN dilaksanakan, masyarakat akan terbebani, karena barang-barang kebutuhan pokok juga akan terdampak. Kenaikan ini dapat menyebabkan harga barang seperti sabun dan BBM ikut melambung, yang pada akhirnya akan mengganggu daya beli masyarakat,” demikian isi cuitan akun tersebut.
Penolakan juga datang dari kalangan buruh. Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan menggelar mogok kerja nasional jika kebijakan ini tetap dilanjutkan tanpa kenaikan upah minimum yang sesuai.
“Jika kenaikan PPN menjadi 12 persen diteruskan tanpa adanya penyesuaian upah, KSPI bersama serikat buruh lain akan menggelar mogok nasional yang melibatkan lima juta buruh di seluruh Indonesia,” tegas Said Iqbal, Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI.
Said Iqbal mengungkapkan bahwa kenaikan PPN berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat berpendapatan rendah, mengurangi daya beli secara drastis, dan memperdalam ketimpangan sosial. Ia juga menilai bahwa kebijakan ini akan menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo.(des*)