Jakarta – Saya ingin menjelaskan kepada rekan-rekan media mengenai pertanyaan terkait beberapa daerah dalam pemilihan gubernur, di mana calon kepala daerah dan wakil yang diusung oleh PDI Perjuangan dianggap bersaing dengan calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Pertama, kita perlu memahami bahwa kolaborasi politik dalam pilkada seharusnya dilihat sebagai sebuah kontestasi demokratis, bukan sebagai pertikaian. Penting untuk memiliki perspektif yang jelas mengenai hal ini. Kontestasi pilkada merupakan cara demokratis dan konstitusional untuk memilih pemimpin daerah. Setelah pemilihan, semua pihak yang terlibat seharusnya dapat bersatu kembali untuk membangun daerah dengan peran masing-masing.
Kedua, pembentukan kolaborasi politik dalam pemilihan gubernur dari beberapa daerah oleh KIM, bahkan KIM Plus, perlu dilihat dalam konteks politik setelah pemilihan presiden dan sebelum terbitnya Putusan MK No. 60 pada 20 Agustus 2024. Saya mencatat bahwa ada keinginan dari sejumlah elit politik untuk mengulangi keberhasilan di pemilihan presiden dalam pilkada. Namun, setelah Putusan MK No. 60 dan munculnya beberapa calon kepala daerah, peta politik telah berubah.
Misalnya, di Daerah Khusus Jakarta, semula ada rencana untuk memindahkan Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke Jakarta guna menghadapi Anies Baswedan. Namun, dengan munculnya nama Pramono Anung, situasinya berubah. Mas Pram menjadi titik temu bagi Jokowi, Prabowo, dan Megawati. Ini adalah fakta politik baru yang harus kita perhatikan, agar tidak hanya terpaku pada kerja sama politik yang bersifat formal.
Demikian juga dengan munculnya sosok Andika di Jawa Tengah. Andika pernah menjadi simbol kepemimpinan sebagai Panglima TNI, dan latar belakang ini tidak bisa diabaikan. Situasi ini dapat mengubah dinamika pilkada di Jawa Tengah, terutama karena Andika memiliki hubungan baik dengan Jokowi dan Prabowo. Dia juga pernah membantu Jokowi sebagai Komandan Paspampres.
Ketiga, kontestasi pilkada adalah tentang figur. Apa yang dijual kepada rakyat adalah sosok calon, termasuk prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politik, strategi pemenangan, dukungan logistik, dan jaringan sosial. Meskipun peran partai pengusung penting, pemilih tetap akan melihat figur yang diusung.
Dalam survei, kita sering mendengar tentang split ticket voting, di mana pendukung Partai A memilih kandidat dari Partai B karena dianggap lebih memenuhi harapan mereka. Fenomena ini cukup signifikan dalam pilkada, karena sering kali aspirasi elit tidak sejalan dengan harapan masyarakat.
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, saya percaya pilkada akan semakin dinamis, dan kita tidak bisa hanya terpaku pada formalitas kerja sama politik.(BY)