Beberapa Daerah Larang ASN Jadi Wartawan, Lalu Bagaimana di Sumbar?

 

.

Kab. Solok – Sewaktu Prof DR H Bagir Manan, S.H., MCL., menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, beliau melarang PNS untuk menjadi wartawan. Dengan itu kemudian beberapa kabupaten dan kota di negeri ini juga telah melarang ASN untuk menjadi jurnalis.

Bukan tanpa alasan, belakangan polemik ini kembali mencuat seiring beredarnya sebuah postingan di media sosial (medsos) di salah satu kabupaten di Sumbar. Postingan tersebut bermula dari sanggahan salah seorang wartawan mengatakan bahwa media yang memberitakan tentang prestasi kepala daerah bukan media tempat ia bekerja.

“Ini bukan media saya,” jelasnya.

Ia juga mempertanyakan masih banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi wartawan, bahkan bisa pula punya media online dengan memperkerjakan ASN lainnya.

“Bahkan walinagari pun bisa jadi wartawan, alasannya jadi wartawan karena dirinya hobi menulis, haa.. haa… haa..,” kata salah seorang wartawan di Kabupaten Solok sembari tertawa.

Terkait polemik di atas sejauh ini media ini sudah meminta tanggapan Bupati Solok Epyardi Asda via WhatsApp, sebab di daerah Kabupaten Solok banyak pula ASN bekerja menjadi wartawan. Namun hingga berita ini diturunkan orang nomor satu Kabupaten Solok tersebut belum berikan tanggapan.

Sebagaimana diketahui, semenjak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) resmi diangkat menjadi PNS, maka kepadanya terikat peraturan yang memuat kewajiban dan larangan yang disertai hukuman disiplin. 

Salah satu peraturan yang mengikat PNS adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain diatur dalam PP, juga tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Sebagaimana dalam Pasal 4 angka 6 PP Nomor 53 Tahun 2010 tersebut dijelaskan, setiap PNS dilarang melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya, dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi merugikan negara.

Baca Juga  Warga Desak Pemerintah Batalkan Vaksin Berbayar

Sehingga dengan PP tersebut, seorang PNS dilarang bekerja secara bersama-sama baik di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya untuk memperoleh keuntungan hingga dapat menyebakan kerugian negara, seperti selain bekerja sebagai PNS, juga bekerja sebagai notaris, pengacara, anggota legislatif, ataupun wartawan.

Dalam PP diatas atau dalam setiap peraturan memang tidak secara rinci disebutkan tentang larangan merangkap pekerjaan ini dan itu.

Bagi PNS yang merangkap sebagai wartawan, di dalam perusahaan pers sepertinya larangan tersebut juga tidak ditegakkan secara tegas, bahkan mungkin aturan tersebut tidak ada. Di lain pihak, PNS yang merangkap sebagai wartawan, di lingkungan birokrasi tampaknya peraturan pemerintah yang mengatur tentang disiplin PNS juga tidak ditegakkan secara tegas.

Terbukti, saat ini banyak PNS yang merangkap sebagai wartawan tapi tidak dijatuhi hukuman disiplin.

Dengan tidak adanya ketegasan pemerintah dalam hal ini, tidak sedikit oknum pegawai menjadikan profesi kewartawanan sebagai profesi yang setara pentingnya dengan profesi sebagai PNS.

Padahal, dalam peraturan pemerintah, larangan double job tersebut sangat jelas, dan tidak perlu lagi menjadi perdebatan.

Untuk bekerja selain PNS, seperti misalnya menjadi anggota legislatif atau lainnya, penegakan aturan untuk menjadi calon legislatif telah ditegakkan secara tegas. 

Oleh sebab itu, tidak pernah ditemukan lagi adanya rangkap jabatan yang selain berprofesi sebagai PNS, juga merangkap sebagai anggota legislatif. Dan demikian juga beberapa bidang pekerjaan lainnya.

Baca Juga  Anak-anak dan Pelajar di Padang Mulai Disuntik Vaksin Covid-19

Sudah waktunya masalah rangkap pekerjaan ini perlu ketegasan dari pemerintah untuk menegakkan aturan tersebut.

Perusahaan Pers pun sudah saatnya dituntut untuk menghormati peraturan pemerintah tentang disiplin PNS dengan tidak mempekerjakan seorang yang berstatus PNS sebagai wartawan.

Tak sampai disitu, juga diperlukan ketegasan penegak hukum untuk memproses pelanggaran terhadap peraturan pemerintah tersebut.

Rangkap pekerjaan PNS baik PNS Pusat atau PNS Daerah sebagai wartawan ini akan berdampak kerugian negara, karena waktu bekerja yang dibebankan oleh negara atas profesinya sebagai PNS, sebagian atau bahkan seluruhya berpotensi digunakan untuk aktivitas kewartawanan.

Selain itu, jika PNS melakukan pekerjaan lain maka pikiran dan tenaga yang bersangkutan (PNS.red) bersangkutan tidak bisa fokus lagi menjalankan tugasnya, dan ini tentu saja akan mengakibatkan kerugian negara.

Lalu, bagaimana mungkin seorang PNS bisa menjalankan kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, sebagaimana dalam Pasal 3 PP ini, bilamana merangkap sebagai wartawan. Sedangkan jam kerja PNS pada umumnya ditetapkan jam pulang pada jam 5 sore.

Kalau meninggalkan pekerjaan pada jam kerja untuk melaksanakan kegiatan jurnalis berarti melanggar PP, sedangkan jika berdalih tidak mengganggu kewajibannya sebagai PNS, maka kapan bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang Jurnalis.

Kecuali hanya sekedar untuk mendapatkan kartu Pers. Sehingga seharusnya memilih salah satunya apakah menjadi PNS ataukah menggeluti profesi Jurnalis.

Seharusnya PNS bekerja maksimal untuk kepentingan masyarakat karena PNS digaji oleh negara untuk melayani masyarakat. 

Tetapi, faktanya banyak PNS saat ini bekerja juga sebagai wartawan, bahkan lebih memprioritaskan pekerjaan sebagai wartawan ketimbang mengutamakan sebagai PNS.

Ini dapat kita lihat di beberapa kabupaten dan berdasarkan informasi dari pemberitaan media massa tentang adanya oknum PNS yang merangkap sebagai wartawan.

Baca Juga  Upaya Kota Solok Pertahankan Adipura Lewat Pembersihan Sungai

Undang-undang Pers menyebutkan bahwa Pers berfungsi sebagai sosial kontrol, dan menuntut sikap independen, nah bagaimana mungkin seorang wartawan dapat mengontrol lembaga atau instansi pemerintah dan bersikap independen, sementara PNS adalah aparat pemerintah yang harus taat selain kepada pimpinan juga kepada aturan yang berlaku di lingkungan PNS.

Mustahil seorang PNS yang merangkap sebagai wartawan dapat melaksanakan profesi ganda tersebut secara profesional karena akan berbenturan satu sama lain.

Disisi lain, Pers harus melaksanakan kontrol sosial terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta lembaga lainnya, lain sisi, PNS adalah menjadi salah satu obyek terhadap fungsi kontrol sosial dari Pers.

Pastinya dengan double job tersebut seorang PNS yang rangkap Jurnalis tidak akan mampu menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Sehingga timbulnya konflik kepentingan nantinya bisa berujung menabrak Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Tak menutup kemungkinan seorang PNS yang merangkap wartawan, akan membocorkan rahasia di dalam instansi atau kantor tempat ia bekerja.(von)


Editor: Yuniar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *