Berita  

Paijo Chaniago

.

Oleh : Musriadi Musanif

(Wartawan Utama)

UNIK dan mengagumkan. Itulah yang bisa dikomentari bila mencermati keseharian masyarakat di Dharmasraya, khususnya kawasan Sitiung dan Sungai Rumbai.

Betapa tidak! Sedang enak-enaknya dua lelaki ‘maota’ menggunakan Bahasa Jawa, tiba-tiba saja berubah berbahasa Minangkabau, ketika seorang lelaki lainnya nimbrung. Mereka ‘maota lamak’ dengan bahasa berbeda, antara satu sama lainnya.

Seorang bertanya dalam Bahasa Jawa. Eh… yang menjawab malah berbahasa Minang. Yang satu mengerti Bahasa Jawa, tapi tak bisa mengucapkannya. Seorang lagi, bisa berturur Bahasa Minang, tapi pengucapannya tidak lurus sebagaimana lazimnya Bahasa Minang yang kita dengar.

Sementara Bang Ucok, lelaki ketiga, sepanjang hari di rumahnya selalu menggunakan Bahasa Batak logat Porsea, tapi mengerti juga dia dengan apa yang diperbincangkan lelaki pertama dan kedua. Bah!

Itu baru dari segi bertutur kata. Coba pulalah telisik lebih dalam lagi. Di sana, dulu pernah ada grup randai, notabenenya seni tradisi dan budaya asli Minangkabau. Tapi seluruh pemainnya, berasal dari warga keturunan Jawa.

Ada juga musik campur sari. Bercampur-campur antara Minangkabau dan Jawa. Dalam beragam logat pula. Nah, ini tentu tidak menutup kemungkinan, suatu waktu akan muncul budaya versi baru; misalnya pertunjukan wayang dengan menggunakan Bahasa Minangkabau.

Dharmasraya adalah profil Indonesia dengan budaya yang unik. Dikatakan Jawa, tidak. Minang tidak pula. Diselingi pula Batak, Melayu, dan lain-lain. Di sinilah beragam budaya, terutama Jawa dan Minangkabau yang menjadi puncak gunungnya, berkolaborasi dengan cantik. Tanpa ada pemaksaan. Tanpa rasa saling curiga.

Terbuka kemungkinan, di Dharmasraya ada Paijo Chaniago. Ayah ibunya bertanah leluhur Jawa Timur asli, tapi dia besuku Chaniago. Tidak ada yang mempersoalkan. Dan…tak ada pula yang perlu dipersoalkan.

Bila di nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat, kerap terbetik kabar adanya sengketa atau silang sengkerut, karena ada anak nagari yang berebut tanah ulayat, Di Dharmasraya, khususnya Nagari Koto Gadang dan Koto Tinggi di Kecamatan Sungai Rumbai, tidak ada yang perlu diributkan di sana. Kabarnya, kedua nagari tidak punya tanah ulayat, meskipun warganya dominan dari keturunan Minang.

Di Dharmasraya memang ditemukan keunikan budaya. Kolaborasi Jamin (Jawa-Minang). Potensi inilah yang kemungkinan besar belum tergali dengan maksimal, sebagaimana yang banyak dilakukan budayawan dan seniman di Yogyakarta atau Jawa Timur.

Ada memang, reog ponorogo dan kuda kepang, sudah menjadi iven pertunjukan dan dinikmati anak nagari di sana pada berbagai kesempatan. Tapi masih tampil sebagaimana aslinya reog. Belum kentara kolaborasi budayanya.

Kalaupun kuda kepang dari Dharmasraya bisa tampil memposana, namun iringan musiknya masih sangat tradisionalistik. Belum terlihat sentuhan seniman kreatif bernuansa kekinian atau milenial di sana. 

Seni budaya unik di Sumatera Barat, sesungguhnya tidak hanya ditemukan di Dharmasraya, tetapi juga ada di Kecamatan Kinali, Dua Koto, dan Ranah Batahan di Kabupaten Pasaman Barat. Ada juga di Lunang dan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan.

Di Kota Padang Panjang, pada momen-momen tertentu, reog dan kuda kepang juga kerap ditampilkan. Tapi, ya itu tadi, belum tersentuh ‘kakok tangan’ budayawan dan seniman profesional agar bisa mengikuti selera milenial.

Kini, sama-sama kita tunggulah kipra Paijo Chaniago. (*)

(Artikel ini ditulis ulang dan diedit seperlunya, berasal Singgalang, Edisi Minggu 24 Desember 2006)

Baca Juga  Padang Panjang Ingin Kembangkan Stasiun Kereta Api

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *